NUNUKAN-Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nunukan memfasilitasi permohonan Audiensi Mediasi dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Perusahaan PT. BHP dengan Karyawan.
Rapat yang dipimpin oleh Ketua DPRD Nunukan Sementara Hj. Leppa di hadiri anggota DPRD, Kepala Disnakertrans, pihak perusahan PT. BHP dan pekerja.
Dalam pembukaan RDP, Ketua DPRD Sementara menyampaikan dalam rapat ini kami persilahkan untuk menyampaikan apa yang menjadi topik permasalahan nya, dan kami harapkan dalam rapat ini tetap tenang.
“Kami ingin dengarkan pokok permasalahannya silahkan disampaikan dengan jelas dan tetap tenang, jangan membawa emosi,”kata Hj. Leppa.
Faris Balang juru bicara Karyawan menyampaikan karyawan yang merasa dirugikan oleh perusahaan tempat mereka bekerja mengajukan keluhan kepada bapak ibu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nunukan.
Mereka mengungkapkan bahwa hak-hak mereka tidak terpenuhi, mendorong mereka untuk meminta audiensi guna membahas masalah ini secara lebih serius.
“Saat ini, keluhan mereka sebagai karyawan tidak tercapai. Bukan karena tidak percaya pada pengadilan atau hukum, tetapi kami merasa tidak dapat menempuh jalur hukum karena kendala finansial,” ujar Faris.
Faris menjelaskan bahwa beberapa karyawan telah bekerja antara 8 hingga 10 tahun, namun tidak memiliki surat perjanjian kerja yang jelas. Meskipun mereka telah terdaftar dalam program Jaminan Sosial (BPJS), status keanggotaan mereka menjadi pertanyaan yang belum terjawab.
“Data yang saya sampaikan tidak direkayasa, melainkan berdasarkan bukti slip gaji dan data perusahaan,” tambahnya.
Salah satu isu utama yang dihadapi adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap enam karyawan yang dianggap mangkir. Faris menjelaskan bahwa pekerja yang dimaksud sebenarnya hadir namun tidak diperbolehkan untuk bekerja.
“Kami sangat kesal dengan keadaan ini. Permasalahan ini muncul dari perusahaan itu sendiri. Perusahaan ini seharusnya menjadi tempat yang baik untuk bekerja, tetapi manajemen yang tidak sejalan dengan visi perusahaan yang menyebabkan masalah,” ungkapnya.
Dalam audiensi tersebut, Faris juga menyoroti masalah pemotongan gaji yang dialami oleh ribuan karyawan. Meskipun gaji mereka sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK), terdapat potongan-potongan yang dianggap tidak sesuai.
“Hari kerja efektif seharusnya 25 hari, tetapi masih ada karyawan yang bekerja hingga 28-30 hari tanpa adanya tambahan gaji untuk lembur,” jelasnya.
Lanjutnya, selain PHK dan pemotongan gaji, para pekerja juga mengalami intimidasi berupa pembongkaran rumah secara tidak etis yang dianggap sebagai pelampiasan emosi oleh pihak perusahaan.
“Rumah yang dibongkar seharusnya tidak menjadi sasaran untuk meluapkan emosi, terutama ketika pekerja tidak berada di tempat,” tegas Faris.
Faris menjelaskan bahwa lahan yang dibongkar merupakan milik yang dijual oleh mandor dan masyarakat. Ia menambahkan bahwa lahan tersebut telah dikuasai selama tiga tahun tanpa masalah, sebelum perusahaan mengklaim bahwa lahan tersebut adalah hak guna usaha (HGU).
“Dua tahun pertama lahan itu dibiarkan semak hutan, namun perusahaan malah mengklaimnya sebagai HGU, padahal ada aturan pemerintah yang menyatakan bahwa jika HGU tidak dikelola dalam dua tahun, izin tersebut dapat dicabut,” jelasnya Faris.
“Perusahaan ini seharusnya tidak dapat beroperasi di negara kita jika terus melakukan praktik-praktik yang merugikan karyawan,” tutup Faris.
Mendengarkan persoalan itu, Muhammad Mansur Anggota DPRD Nunukan menegaskan pentingnya mempelajari data-data yang telah disiapkan oleh pihak Perwakilan Pekerja.
Mansur menuturkan adanya dugaan tindakan tidak etis oleh pihak perusahaan, yang diungkapkan oleh Disnaker.
“Dalam pengawasan oleh provinsi, kami mendapati adanya kecurigaan bahwa PT. BHP memiliki perilaku yang kurang baik,” ungkapnya.
Dalam konteks ini, Mansur meminta agar semua informasi terkait mediasi dengan perusahaan disampaikan kepada mereka untuk menghindari keputusan yang tidak berdasarkan fakta. Sesuai yang disampaikan perwakilan pekerja, keprihatinannya terhadap kondisi pekerja di perusahaan tersebut, yang ia sebutkan berjumlah 6 orang.
Ia menekankan risiko keselamatan yang mungkin dihadapi oleh pekerja, terutama jika rumah mereka dibongkar tanpa prosedur yang tepat.
“Kami tidak bisa membiarkan tindakan sepihak yang dapat membahayakan nyawa manusia,” tegasnya.
Dari pihak Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), dijelaskan bahwa tindakan perusahaan yang mengabaikan hak-hak pekerja merupakan pelanggaran yang tidak dapat dibenarkan.
“Undang-undang Cipta Kerja memberikan perlindungan bagi pekerja. Setiap perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) harus memberikan hak pesangon, kecuali dalam kasus pelanggaran berat,” jelas Mansur.
Terkait mengenai izin perusahaan yang diduga kedaluwarsa, serta masalah pendataan pekerja yang harus diperhatikan dengan seksama.
“Kami ingin memastikan bahwa semua pekerja terdata dengan baik agar tidak berdampak negatif pada masyarakat dan pemerintah,” tambah Mansur.
Politisi Nasdem ini mengungkapkan, DPRD berkomitmen untuk mencari solusi terbaik bagi masyarakat dan memastikan hak-hak mereka terpenuhi.
“Kami berharap pertemuan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dan menciptakan suasana yang kondusif untuk dialog antara masyarakat dan perusahaan,” tegas Mansur.
Dalam rapat tersebut, DPRD belum menyimpulkan secara rinci langkah yang harus dilakukan lantaran pihak PT BHP tidak menghadiri undangan. Namun dalam pembahasan tersebut DPRD Nunukan sepakat untuk mengatur jadwal dan mengundang kembali pihak perusahaan sesuai jadwal yang disepakati DPRD.(*)