Fraksi-fraksi DPRD Nunukan Sampaikan Pemandangan Umum Terhadap Perubahan Perda Pemberdayaan Masyarakat Adat

NUNUKAN-Dewan Perwakian Rakyat Daerah ( DPRD) Kabupaten Nunukan melanjutkan agenda pembahasan Raperda yakni rapat paripurna pemandangan umum fraksi-fraksi atas penyampaian nota penjelasan Bupati Nunukan terhadap Perubahan peraturan daerah nomor 16 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat, Selasa (21/03/2023).

Dalam rapat paripurna ini dipimpin langsung Ketua DPRD Nunukan Hj. Leppa dan Wakil Ketua DPRD H. Saleh dihadiri Asisten I Pemerintahan dan Kesra, Munir mewakili Bupati Nunukan.

Bacaan Lainnya

Masing-masing juru bicarq fraksi-fraksi DPRD Nunukan menyampaikan pandangan umum terhadap Perubahan Perda nomor 16 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat.

Pandangan umum Fraksi Hanura yang dibacakan Ahmad Triady menyampaikan Sesuai rumusan penyampaian Nota Penjelasan rancangan peraturan Daerah Kabupaten Nunukan tentang perubahan atas peraturan Daerah Kabupaten Nunukan n0m0r 16 tahun 2018 tentang pemberdayaan masyarakat adat, maka Fraksi Partai Hanura berpendapat menyetujui untuk dibahas rancangan Peraturan Daerah sesuai tahapan-tahapan dalam rangka penyelarasan, pembulatan, dan pemantapan rancangan peraturan tersebut, baik terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun dinamika sosial masyarakat Kabupaten Nunukan.

“Fraksi Hanura meminta kepada Anggota DPRD Kabupaten Nunukan untuk membentuk Pansus dalam menindak lanjuti pembahasan rancangan peraturan Daerah Kabupaten Nunukan tentang perubahan atas peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 16 tahun 2018 tentang pemberdayaan masyarakat adat dan meminta kepada pemerintah
Kabupaten Nunukan untuk memfasilitasi mempertemukan antara
pihak dayak Agabag dan Dayak Tenggelang untuk ISLAH,” tuturnya.

Selanjutnya, Pandangan umum Demokrat yang dibacakan oleh Gat menyampaikan persoalan utama Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah Kabupaten Nunukan dewasa ini adalah semakin terbatas dan atau berkurangnya hak atas ruang hidup di atas tanah mereka sendiri. Di mana terjadi pengalihan hak MHA atas wilayah adat secara sistimatis atas nama pembangunan dengan nama HGU, Taman Nasional, Hutan Lindung dan lain-lain. Akibatnya, hari Ini MHA sudah tidak punya hak atas ruang hidup yang cukup.

“Hari ini saja sudah terbatas atau tidak cukup, bahkan tidak ada, apalagi 20-50 tahun yang akan datang, kondisi ini harus menjadi fokus perhatian atau landasan pijakan kita semua terkait revisi dimaksud. Sebab seperti kata pepatah, tikus mati di lumbung padi, demikianlah nasib MHA 20-50 tahun yang akan datang,” tutur Gat.

Lanjut dia, pengalihan hak terjadi atas nama pembangunan dan kesejahteraan, tetapi fakta yang terjadi hari ini bahwa MHA tidak mendapatkan pembangunan dan kesejahteraan yang dijanjikan tersebut. Bahkan yang terjadi adalah korporasi yang notabene mencari atau mengumpulkan kekayaan memenjarakan MHA atas tindakan perjuangan memperoleh hak makan dan hak hidup di atas tanah mereka sendiri. Oleh sebab itu, FPD meminta agar masalah ini diakhiri dengan melakukan pengakuan, perlindungan dan pemberdayan atau penguatan MHA.

Penguatan atau pemberdayaan yang kami maksudkan meliputi kapasitas dan kapabilitas kelembagaan, legal standing dan pemetaan wilayah adat. Dalam konteks inilah, dukungan fasilitasi oleh pemerintah daerah menjadi sesuatu yang harus dan bahkan mutlak kita pikirkan ke depan.

Fraksi Partai Demokrat juga berpandangan bahwa revisi yang akan kita lakukan harus bermuara pada solusi terbaik dan komprehensif. Revisi haruslah menjamin, memastikan eksistensi MHA lebih kokoh, lebih kuat dari sebelumnya. Oleh sebab itu, FPD berpendapat bahwa revisi yang akan kita lakukan tidak boleh mengebiri, menghilangkan atau mengaburkan sebagian atau seluruhnya eksistensi dan hak-hak MHA sebagaimana dimaksud UUD 45 Pasal 188 ayat 2, yang mengatakan Negara mengakul dan menghomati kesatuan MHA serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang.

“Perda 16 Tahun 2018 sesungguhnya tidaklah cukup kuat untuk memayungi keberadaan atau eksistensi MHA dalam wilayah Kabupaten Nunukan. Kami berpendapat bahwa legalitas hukum yang diharapkan oleh MHA adalah Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA. Sedangkan ketentuan tentang Pemberdayaan harusnya berupa Bab atau Pasal dari Perda Pengakuan dan Perlindungan atau berupa peraturan turunan dari Perda,” paparnya.

Lebih lanjut Gat menuturkan, dalam nota penjelasan Bupati menjelaskan bahwa revisi merupakan bentuk penghormatan Pemerintah Daerah terhadap kesatuan MHA dan juga komitmen untuk mengakomodir seluruh kepentingan MHA akan pengakuan dan perlindungan keberadaannya. Oleh sebab itu, Fraksi Demokrat berpendapat bahwa penghormatan yang diberikan haruslah berupa komitmen tindakan kongkrit (tanggung jawab) yang diuraikan dalam pasal demi pasal dari revisi yang akan kita lakukan.

“Tanggung jawab pemerintah daerah haruslah jelas dan terinci, misalnya tanggung jawab memberi fasilitasi sarana, informasi, partisipasi dalam perencanaan pembangunan, dan seterusnya. Siapa melakukan apa, kapan, dan juga slapa bertanggung jawab terhadap apa atau kepada siapa, demikian juga halnya dengan hak-hak khusus MHA, juga harus dijabarkan secara rinci sehingga menggambarkan batas hak yang jelas (hak-hak kolektif MHA ini, kalangan MHA lajim disebut dengan Istilah Free, Prior and Informed Consent/FPIC). Penghormatan pemerintah daerah tidak boleh hanya sebatas kata-kata (lips service), harus berwujud dalam bentuk tindakan nyata dan rencana kerja terukur,”tutur Gat.

Dalam Nota Penjelasan disampaikan bahwa dari 26 pasal, 14 pasal mengalami perubahan, bahkan dihapus. Fraksi Demokrat berpendapat bahwa penghapusan pasal-pasal substansial justru kontra produktif dengan semangat MHA memperkuat dirinya dan juga bertolak belakang dengan nota penjelasan Bupati yang mengatakan dalam penjelasan bahwa revisi merupakan bentuk penghormatan yang tinggi terhadap keberadaan MHA, sebagai salah satu contoh, Penghapusan pasal 9-11 yang memuat hak-hak dasar MHA merupakan bentuk amputasi kekuatan MHA itu sendiri.

“Terkait pemecahan persaoalan atau sengketa antar lembaga adat, Fraksi Demokrat berpendapat perlu atau pentingnya dalam revisi Perda dimaksud dimuat klausul yang mengatur mekanisme atau tahapan penyelesaian antar lembaga adat. Perlu dibentuk Panitia atau Badan khusus yang terdiri dari pemerintah, MHA,. NGO, akademisi, tokoh agama, dll yang mempunyai tugas dan fungsi mengelola urusan-urusan MHA. Badan Ini kemudian akan menjadi Sekretatiat Bersama semua kelompok MHA. Pada akhirnya Fraksi Demokrat secara prinsip setuju dan siap melakukan pembahasan dengan catatan bahwa revisi yang akan dilakukan haruslah dengan tujuan memperkuat keberadaan MHA dalam wilayah Kabupaten Nunukan,” tutupnya.

Sementara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang disampaikan Andi Krislina bahwa Fraksi PKS mendukung dan memberikan apresiasi yang sangat tinggi.

Masyarakat hukum adat merupakan sekelompok orang yang secara rutin turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di negara kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Indonesia dengan 17.504 pulau dan 1.340 suku bangsa 748 bahasa, dimana provinsi Kalimantan Utara bagian di dalamnya. Bahasa adalah dengan semboyan bhineka tunggal ika yang artinya bahwa “kita berbeda-beda, tetap satu” oleh karena itu keberagaman suku/adat tidak melunturkan semangat persatuan, justru menjadi pengkayaan budaya dan modal pembangunan bangsa Indonesia dengan pancasila sebagai perekat,” tutut Andi Krislina.

Merawat keberadaan suku bangsa dengan menjaga nilai luhur
Budaya / adat istiadatnya adalah ibarat menjaga keberadaan manusia, negara hadir untuk mengakui dan melindungi keberadaan suku bangsa dalam bentuk formal/ non formal antara lain berupa pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat.

Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang dasar
pokok-pokok agraria, undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

“Istilah masyarakat hukum adat di lahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik akademis. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional,”papar Andi Krislina.

Dia menyebutkan, para tokoh masyarakat adat merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan geneologis.

Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman Hindia belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota – anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.

“Menyikapi terkait perubahan peraturan daerah tersebut perlu sangat memperhatikan apa yang menjadi kewenangan dari pemerintah untuk melindungi serta menjaga dan melestarikan
Adat istiadat masyarakat hukum adat yang ada di wilayah
Kabupaten Nunukan. Perubahan pada 14 pasal dalam rancangan perubahan perda tersebut hendaknya menitik beratkan pada pemberdayaan masyarakat hukum adat serta perlindungan masyarakat hukum adat secara terstruktur,” pungkasnya.

Terakhir Pemandangan Fraksi Gerakan Karya Pembangunan (GKP) yang disampaikan Siti Raudiah Arsyad memaparkan secara faktual setiap Provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Masyarakat Hukum adat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dahulu hingga saat ini.

Konstitusi Indonesia menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk kesatuan masyarakat
hukum adat, seperti kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat adat, serta masyarakat tradisional.

“Hak-hak tradisional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sejatinya adalah merupakan hak konstitusional karena pengakuan terhadap hak-hak tradisional itu disebutkan dalam konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”. Oleh karena itu, semua hak tradisional masyarakat hukum
adat sekaligus merupakan hak konstitusional,” papar Siti Raudah.

Dijelaskannya, peraturan daerah No. 16 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat diusulkan diubah dengan mempertimbangkan aspek penting dan krusial yaitu Masyarakat Hukum Adat. Karena pengakuan dan perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat melalui Perda adalah sebagai Implikasi dari undang-undang Desa.

Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat adalah penting, karena harus diakui secara tradisional masyarakat adat lahir dan telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, sehingga peraturan daerah menjadi payung hukum yang mengakui dan melindung Masyarakat Adat secara formal dan resmi oleh Negara dan undang-undang.

Dalam rangka memfungsikan hukum adat sebagai rumah besar pelindung bagi masyarakat, baik itu menjaga dan melestarikan hutan adat hingga persoalan yang mencakup sosial kemasyarakatan maka penyusunan Peraturan Daerah tentang pemberdayaan Masyarakat Adat merupakan salah satu bentuk keberpihakan Pemerintah Daerah kepada masyarakat
adat di Kabupaten Nunukan.

“Oleh sebab itu, Fraksi Gerakan Karya Pembangunan menyatakan setuju pada Raperda perubahan atas perda Kabupaten Nunukan nomor 16 tahun 2018 tentang pemberdayaan masyarakat adat. Namun Fraksi Gerakan Karya Pembangunan berharap proses pembahasan antara Badan Pembentuk Peraturan Daerah (BAPEMPERDA) DPRD Kabupaten Nunukan dan Bagian Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan dapat dimaksimalkan dengan melibatkan serta mendengarkan masukan dari tokoh-tokoh adat dan sejarawan yang berkompeten agar menghasilkan Peraturan Daerah yang sesuai dengan kondisi faktual di Kabupaten Nunukan sehingga mampu memenuhi hak-hak tradisional Masyarakat Kabupaten Nunukan,” tutupnya.

Usai mendengarkan seluruh pemandangan faksi-fraksi, Ketua DPRD Nunukan menyampaikan setelah mendengar pemandangan fraksi, selanjutnya akan dijadwalkan untuk jawaban Pemerintah Daerah atas pemandangan umum fraksi-fraksi DPRD Nunukan. (**)

Dengarkan Kami di Aplikasi Solatafm Nunukan