PAKAR APBD:Program Ratusan Juta Untuk RT Program Populis Tanpa Pembekalan

NUNUKAN – Janji Program anggaran untuk Rukun Tetangga (RT) senilai 150-250 juta pertahun menuai banyak tanggapan, salah satunya dari pakar anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Universitas Muhammadiyah Malang, Salahudin, S.IP, M.Si, M.P.A.

Pakar Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sekaligus penulis buku ‘The Politic Of Public Budgeting In Local Goverment’ yang saat ini menempuh dan menyelesaikan studi akhir Doktoral Strata III di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan judul disertasi ‘Korupsi Anggaran Daerah di Malang Raya’ mengatakan rencana pengalokasian anggaran untuk Program tersebut adalah program populis yang disusun tidak mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah.

“Pada umumnya, program populis seperti ini disusun oleh incumbent yang berencana ingin kembali menjadi kepala daerah di periode kedua, namun hal tersebut jadi kurang wajar jika ada pendatang baru yang menunjukkan bahwa dia tidak mempunyai wawasan pengelolaan pemerintahan, termasuk tentang APBD dengan program anggaran untuk masing-masing RT yang nilainya ratusan juta pertahun,”

Pria lulusan Magister Luar Negeri Khon Kaen University (Thailand) Fakultas Administrasi Publik ini menuturkan, Karena program seperti ini tidak bertujuan untuk mewujudkan pembangunan daerah ke arah yang lebih baik.

Biasanya, program seperti ini di inisiasi oleh pemimpin yang pragmatis, yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan tertentu daripada kepentingan pembangunan rasional dan di dalam bahasa ilmiah nantinya sebagai sarana meraih keuntungan sepihak dan kepentingan derivatif atas nama masyarakat.

Dia menambahkan, mobilisasi anggaran daerah untuk program populis seperti ini merupakan bentuk dari perilaku korup elite dan pejabat daerah atau yang dikenal dengan istilah ‘elite capture dan rent-seeking’. ” pragmatisme juga dapat menyebabkan politik menjadi sangat instan dan tanpa pembekalan hingga melahirkan pekerjaan kreatif atau yang berbasis pengetahuan dapat menjadi tertinggal yang sering kali dapat merusak moral, inisiatif, dan berpengaruh terhadap loyalitas masyarakat itu sendiri,” ujarnya.

“Bisa saja anggarannya diambil dari setiap Organisasi Perang Daerah
(OPD) jika hal itu didukung oleh anggaran Negara atau anggaran daerah yang cukup tapi di lihat dulu peraturannya. Disisi lainnya, masing-masing atau tiap OPD mempunyai program wajib dan jenis program yang harus diimplementasikan pada setiap tahun anggaran dan itu harus didukung oleh anggaran yang cukup,” Terang Dia.

Selanjutnya haruslah mengacu pada Mandatory Spending, yakni belanja atau pengeluaran Negara yang sudah
diatur oleh undang-undang dengan tujuan mengurangi masalah ketimpangan social dan ekonomi
daerah. Yaitu alokasi penggunaan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD sesuai amanat undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (4) dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002 tentang pendidikan nasional pasal 49 ayat (1), Besaran anggaran kesehatan pemerintah kabupaten dialokasikan minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah diluar gaji (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan), Dana transfer Umum (DTU) diarahakan pengunaannya yaitu paling sedikit 25% dari untuk belanja infrastruktur daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar daerah (Undang-Undang APBN) kemudian Alokasi Dana Desa (ADD) paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi dana alokasi khusus (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa).

Jika daerah tidak mematuhi maka sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2017 yang terakhir
diubah dengan PMK nomor 225 Tahun 2017 tentang pengelolaan transfer ke daerah dan dana desa, pemerintah dapat menjatuhkan sanksi terhadap daerah-daerah yang tidak memenuhi kewajiban Mandatory Spending terutama untuk infrastruktur. Sanksi dimaksud adalah penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum (DAU) atau dana dana bagi hasil (DBH) bagi daerah yang dimaksud.

Terkait program 1 RT dengan alokasi Rp. 150 juta sampai dengan Rp. 250 juta bukan tidak mungkin dilaksanakan, jika tidak ada ketentuan terkait Mandatory Spending dimaksud tapi tidak mewajibkan dan memberikan sanksi terhadap daerah yang tidak melaksanakan hal dimaksud. “Jadi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, kemudian melihat sejauh mana kemampuan daerah serta perkembangan pendapatan keuangan Negara saat ini,” Pungkasnya. **

Dengarkan Kami di Aplikasi Solatafm Nunukan