Kades Binusan Minta Ketegasan Instansi Terkait Soal Aturan Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

Print Friendly, PDF & Email

NUNUKAN-Pemerintah Desa Binusan mengundang beberapa instansi Pemerintah Kabupaten Nunukan dalam rapat kordinasi mengenai batas pesisir dan pulau-pulau serta Lahan Masyarakat, dikarenakan sebanyakk dua puluh persen masyarakat telah memiliki kepemilikan dengan SPPT di atas bibir pantai.

Kegiatan yang digelar di Halamanan Desa Binusan, Rabu (28/9), dihadiri Kepala Seksi Pengukuran BPN, Mahendra Triadmaja, Camat Nunukan, Hasan Basri, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Kepala Dinas Hidup dan Kadis Kehutanan ,Pj Kepala Desa Binusan Dalam, Pj Kepala Desa ujang Fatimah, Babinsa dan Bhabinkamtibmas, Komunitas Pencinta Alam dan Ketua RT.

Bacaan Lainnya

Dalam pertemuan itu, Kepala Desa Binusan, Rudihartono, S.Sos menanyakan mengenai Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menegaskan, yang dimaksud dengan sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, serta berjarak minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

“Dalam aturan ini kita berpegang teguh, kalau 100 meter boleh kita harus sampaikan kebenarannya jangan ada hal-hal lain lagi, supaya 15 ketua RT yang ada di Desa Binusan saat ada warga yang meminta untuk mengukur tanahnmya di pinggir laut maka bisa ditolak. Hal ini agar tidak ada lagi penebangan mangrove dan membuat SPPT di bibir pantai,” tegas Rudi.

Dia menambahkan, jika aturan sudah jelas tidak boleh yah tidak boleh, supaya tidak ada pengecualian lagi. Jika ada pengecualian kapling aja semua itu bibir pantai.

Usai melakukan pertemuan, Kades Binusan yang ditemui Pembawakabar.com menerangkan, makanya hari ini kita undang supaya kami dari desa itu mengetahui mana batas-batas yang bisa misalnya warga itu akan mengurus ke desa mengukur tanahnya dengan menerbitkan SPPT, jangan sampai kami menerbitkan SPPT di tanah yang dilarang seperti di bibir pantai.

“Dalam aturannya sudah jelas yang disampaikan dari BPN bahwa 100 meter sedangkan sekarang tidak ada 100 meter tetapi yang terjadi di bibir pantai itu sudah dikapling oleh orang . Makanya kita ambil inisiatif supaya itu jangan sampai terjadi karena kalau kita biarkan itu habis mangrove yang di bibir pantai itu di jadikan tempat tinggal,” jelas Rudi.

Sementara warga yang saat ini telah melakukan pengukuran dan memiliki SPPT, kata Rudi, pihaknya akan melakukan pertemuan lanjutan untuk mencari solusi.

“Yang sudah terlanjur kita nanti akan adakan pertemuan lanjutan bersama pak Camat untuk mencari bagaimana solusinya nanti, tetapi untuk yang belum mungkin kita cegah supaya tidak ditebang,”terang Rudi.

Rudi menyebutkan, saat ini belum dapat memastikan berapa total yang sudah membuat SPPT, namun diperkirakan mencapai 20 persen.

“Kita belum hitung semua tapi sudah banyak sekitar ada 20 persen, sehingga ini kita harus berupaya untuk mencegah, dengan kita berkordinasi kepada instansi terkait, Pak camat juga akan berkordinasi dnegan DPRD terkait untuk regulasinya,” jelasnya.

Rudi juga berpesan kepada Masyarakat untuk menjaga hutan mangrove karena memiliki banyak manfaat.

“Karena mangrove ini sangat banyak manfaatnya selain juga memang untuk mencegah misalnya terjadi gelombang besar supaya tidak longsor tanahnya, sehingga ini perlu dijaga. Kita warga desa Binusan dan Lembaga adat juga selama ini juga sama-sama menjaga, jadi jangan sampai ini habis makanya dari kita semua harus menjaga hutan mangrove,”pesan Rudi.

Untuk diketahui bahwa sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yaitu, Pasal 35 huruf e, menyatakan bahwa setiap orang secara langsung atau tidak langsung, dilarang menggunakan cara dan metode lain yang merusak ekosistem mangrove.

Pasal 73. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) setiap orang yang sengaja menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove, melakukan konversi ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman / atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g.
Bahwa dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah Pasal 11 menyatakan bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah kecuali pada kawasan hutan.

Sesuai dengan Surat Edaran No. 4/SE-100.PG.01.01/II/2022 tentang Kebijakan Penatagunaan Tanah di Kawasan Lindung angka 5 isi huruf c, kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan kawasan bawahnya di dalam angka 7, menyatakan bahwa kawasan lindung. (RI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *